Kevin Lane Keller mengubah pendekatan manajamen brand dengan memperkenalkan “Customer-Based Brand Equity .“ Manajemen Brand dengan pendekatan berbasis konsumen (consumer-based approach) menggunakan cognitive psychology dan information-processing theory untuk melakukan analisis terhadap persepsi dan proses pengambilan keputusan konsumen dalam membeli sebuah Produk Brand (Heding, Knudtzen and Bjerre, 2020). Dalam pandangan Keller, Brand berada di benak konsumen.
Keller (1993) memperkenalkan konsep Brand Equity dari perspektif konsumen yang merupakan respon konsumen terhadap Brand Knowledge. Lebih lanjut, Brand Knowledge adalah hasil aktivitas pemasaran yang menawarkan differensiasi sebuah produk (Brand). Brand Knowledge merupakan asosiasi sebuah Brand dalam ingatan (pikiran) konsumen yang terdiri dari Brand Awareness dan Brand Image. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada konsumen, sehingga konsumen dianggap menjadi “Owner of the Brand” (Heding, Knudtzen and Bjerre, 2020).
Beberapa studi menunjukkan sosial media memberikan pengaruh pada Brand Equity. Sosial media yang menyediakan sarana hiburan, interaksi dan trend memberi pengaruh yang besar terhadap Brand Equity Godey et al., 2016). Selain itu, interaksi, berbagi konten, dan komunitas online mempunyai hubungan yang kuat dengan Brand Equity (Abu-Rumman & Alhadid, 2014).
Poturak dan Softic (2019) mengungkapkan firm-created content dan user-generated content memiliki pengaruh yang besar dalam menciptakan e-WOM yang akan mempengaruhi Brand Equity. Namun, Schivinski & Dąbrowski (2015) menyebutkan firm-created content tidak berpengaruh terhadap Brand Equity, sedangkan user-generated content mempengaruhi brand loyalty dan perceive quality yang merupakan elemen penting dari Brand Equity.
Konsumen melihat adanya perbedaan antara komunikasi media sosial yang dibuat oleh perusahaan dan pengguna, hal ini sejalan dengan temuan Bruhn, et.al (2012) yang mengungkapkan konsumen sangat bergantung pada pendapat keluarga, teman, dan pengguna lain mengenai kualitas layanan yang diberikan oleh perusahaan.
Begitu besarnya pengaruh media sosial terhadap Brand Equity, pemilik brand harus memasukkan komunikasi media sosial sebagai bagian dari strategi komunikasi pemasaran mereka (Laroche et al. 2012). Oleh karena, media sosial memberi kesempatan kepada perusahaan dan pemilik brand untuk terlibat dengan konsumen dan bahkan untuk mempengaruhi percakapan mereka (Amichai-Hamburger 2008). Selain itu, media sosial menyediakan cara tak terbatas bagi konsumen untuk berinteraksi, mengekspresikan, berbagi, dan membuat konten tentang brand dan produk (Camarero & San José 2011). Jadi, pemilik brand bisa berkolaborasi dengan konsumen untuk menciptakan konten dan percakapan untuk menumbuhkan Brand Equity.
Oleh sebab itu, pak Bi, menyampaikan perkembangan media sosial membuat terjadinya perubahan dalam pendekatan marketing. Yang biasanya menekankan pada produk dengan 4P berubah kea rah fokus pada konsumen dan pelanggan. Oleh sebab itu, ini saatnya beralih dari pendekatan 4P (Product, Price, Place, Promotion) ke 4E (Evangelist, Engagement, Everywhere, Excitement).
Mau tahu lebih lengkap perbedaan pendekatan antara 4P dan 4E ?
Segera daftarkan diri di Workshop “Branding Marketing Selling” yang diselenggarakan 14-15 Oktober 2022, atau silahkan daftar di biolink @subiakto langsung ke www.linktr.ee/subiakto atau hubungi admin kami pak Kasim di 085223944575.
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Indonesia”
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silakan subcribe channel Youtube pak Subiakto di Subiakto.Official untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.
Penulis: JF Sebayang