Belum lama ini, masih seputar topik terhangat di tahun ini yaitu tentang ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2016, Pak Bi pernah menjelaskan di Twitter bahwa MEA merupakan arena Hypercompetition.
Lalu apa itu sebenarnya Hypercompetition? Apakah sama seperti kompetisi perdagangan yang sudah-sudah? Bisa dibilang mirip namun ada beberapa hal yang signifikan terjadi di arena Hypercompetition. Contoh pertama adalah di arena Hypercompetition dunia berubah sangat cepat, yang besar tidak lagi mengalahkan yang kecil, yang cepat mengalahkan yang lambat, setidaknya itulah apa yang dikatakan oleh Rupert Murdoch.
Jangan heran jika anda akan menemukan banyak perusahaan startup digital saat ini bisa memiliki banyak karyawan menandingi korporat-korporat besar konvensional. Hal ini dikarenakan karena startup kecil dalam hal aset namun bisa bergerak dengan cepat dan luwes dalam menyikapi perubahan, terutama teknologi informasi.
Inti dari strategi bisnis adalah membangun keunggulan kompetisi, tapi menurut Pak Bi, dalam era Hypercompetition, tidak ada keunggulan kompetitif yang bertahan. Fenomena sederhana yang bisa kita lihat sekarang di ibukota adalah masalah persaingan antara ojek pangkalan dan Go-Jek. Menarik disimak bagaimana sebuah aplikasi mobile mampu men-disrupt bisnis transportasi kendaraan roda dua konvensional. Mengagumkan, dengan pemanfaatan teknologi informasi Go-Jek bisa menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang tidak kalah besar dengan korporat besar konvensional, konon mencapai ribuan.
Hypercompetition adalah suatu lingkungan di mana keunggulan kompetisi cepat terkikis dan teratndingi. Karena itu kata kuncinya adalah yang cepat mengalahkan yang Lambat, bukan lagi yang besar mengalahkan yang kecil. Hal ini bisa dibilang karena yang besar biasanya lambat, dan yang kecil bisa bergerak cepat. Oleh karena itu, jika kita tidak waspada dan masih bersantai ria, jangan kaget jika nanti kita akan di-disrupt oleh pemain dari negara tetangga ASEAN. Karena pada dasarnya, kecepatan belum menjadi keunggulan atau budaya kita, baik itu pelayanan, birokrasi, dan etos kerja SDM yang ada di Indonesia.
Strategi bisnis menciptakan keunggulan kompetitif, strategi Hypercompetition adalah tentang penghancuran kreatif keunggulan lawan. Dalam era Hypercompetition pesaing dipaksa untuk bereaksi terhadap ancaman yang kita ciptakan. Jika mau ambil contoh dari fenomena Go-Jek, tindakan represif dari ojek pangkalan yang berusaha membatasi pergeran Go-Jek di wilayah ‘mangkal’ mereka merupakan reaksi dari kompetisi yang diciptakan Go-Jek. Jelas jika tindakan represif tersebut bukanlah solusi. Begitu juga ketika MEA sudah dimulai, kita tidak bisa represif dengan persaingan yang diciptakan negara-negara tetangga. Mau tidak mau kita harus inovatif dan men-disrupt kompetisi yang diciptakan lawan.
Jika kita sudah memahami apa yang akan terjadi di era MEA, tentu kita memahami bahwa pekerjaan kita menjelang ketok palu MEA masih sangat banyak bukan?